Kamis, 23 Juni 2011

HUBUNGAN SYARI’AH DAN TASAWUF



HUBUNGAN SYARI’AH DAN TASAWUF

Makalah ini di tulis untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Nur Hidayah M.Pd

iain.jpg











Di susun oleh :

1.     Zulfa Nur Hidayatuz Zahra                             (09480014)


JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009


A.   Pendahuluan
Berbagai upaya dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat tuhan dengan hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran-ajaran seperti ini terdapat dalam Tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan Tasawuf akan tetapi kegiatan Tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping itu untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyaembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan para sahabatnya. Mereka meneladani kehidupan Rasulullah dan membaktikan hidup mereka demi kepentingan agama. Bahkan diantara mereka ada yang sangat tekun beribadah dan hidup zuhd. Mereka ini lebih dikenal dengan dengan sebutan Ahl al-shuffah. Kelompok inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal munculnya kaum shufi. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa asal usul kata tashawwuf diambil dari kata shuffah yang kemudian ditransfer ke dalam bahasa Eropa, sofa. Tasawuf  dan tarekat terus berkembang  dan tersebar di berbagai wilayah dunia Islam, baik pada periode klasik, pertengahan, maupun modern. Pada periode pertengahan, wilayah Nusantara sudah  ikut mengembangkan Tasawuf mulai dari Aceh, Palembang, Demak, Mataram dan lain-lain. Kemudian di wilayah Pekalongan, Jawa. Tengah munculah tarekat Budhiah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Rifa’I, terekat ini berkembang sampai sekarang.
Pada dasarnya Tasawuf bersifat bati sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah. Syari’ah merupakan ajaran Islam yang tersimpul dalam ibadah yang mengambil bentuk shalat, puasa, zakat, haji dan ajaran-ajaran mengenai akhlak Islam. Aspek lahir (syari’ah) dan aspek batin (tasawuf) tidak dapat dipisahkan sehingga antara syari’ah dan tasawuf memiliki keterkaitan yang sangat erat.















    
B.   Makna Tasawuf
Untuk menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, ia hanya dapat diketahui bukan pada hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam upaya, cara, dan sikap kehidupan para sufi. Sekalipun demikian para sufi membuat, definisi tasawuf tersebut, meski saling berbeda, sesuai dengan pengalaman empiric masing-masing dalam mengamalkan tasawuf. Menurut Ma’ruf  al-Kurkhi, tasawuf ialah berpegang pada apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad al-jariri ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf? Ia menjawab: Masuk ke dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhalk yang rendah (tercela).
Sementara Abu Ya’qup al-Susi menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.
Definisi-definisi diatas menunjukka betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesame makhluk. Selanjutnya definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan Dzul al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang sufi dan mengalahkan segala sesuatu. Dan definisi ini, pembahasan tasawuf ini memasuki wilayah cinta Illahi yang dikenal dengan mahabbat. Sufi adalah orang yang mencintai Allah sampai mengalahkan segala-galanya. Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya sufi besar, Abu Yazid al-Busthami yang mendefinisikan tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha al-Kholqu (sifat Allah yang dikenakan hamba-Nya). Hal ini menunjukkan adanya perkembanmgan dari Abu Yazid bin al-‘ibrat badalan min al isyarat (mengungkapkan secara lisan akan kondisi bati atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).
Lebih jauh Imam al-junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: al-atashawwuf antakuna ma’a Allah bila ‘alaqah (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa hubungan). Maksudnya, seorang sufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluk dan kholiq, bukan hubungan antara ‘abid dan ma’bud. Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih mengakui keberadaan diri makhluk.
Ajaran tasawuf al-junaid dikembangkan lagi oleh sufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana Allah ….. ana Al-Haqq (aku adalah Allah … aku adalah Yang Maha Benar).
Disini timbul pertanyaan: kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan ucapannya yang melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung?, padahal al-Hallaj sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Hallaj:”apa pun yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah … ana al-Haqq, karena saya ingin menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi ridak menyatu dengan Allah”. Nampaknya, hukuman gantung tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Memperhatikan definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzul al-Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak lagi menekankan masalah akhlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan langsung antara sufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara sufi dan Tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf disamping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.

C.   Maqomat dan Ahwal
 Tasawuf dari satu segi merupakan suatu ilmu sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang Muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan maqomat, yang merupakan bentuk jamak dari maqom.
Pengertian maqom menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqom adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat), latihan-latihan kerohanian (al-ruyadhat) serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha ‘ila Allah). Hal ini sesuai dengan firman allah dalam Surat Ibrahim ayat 14 dan Surat al-Shaffat ayat 164.
 Didalam beberapa literatur tasawuf, konseo maqomat sering dibandingkan penggunaanya dengan konsep ahwal (bentuk jamak dari hal). Al-Thusi menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang sufi karena ketulusan dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melaui al-‘ibadat, al-mujahadah, dan al-riyadhar seprti maqomat. Adapun suasana hati termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya: merasa senantiasa diawasi Allah (al-muroqobat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa cinta dengan Allah (mahhabbat), rasa harap-harap cemas (al-khouf wa al-raja’), rasa rindu (al-syauq), rasa berteman (al-uns), rasa tentram (al-thuma’ninat), rasa menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat), dan rasa yakin (al-yaqin).
Senada dengan al-thusi, al –Qusyairi mengatakan bahwa maqom ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal adalah anugrah Allah, sedangkan maqomat merupakan hasil usaha. Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujut kerja, sedangkan maqomat dihasilkan seorang hamba melalui kerja keras.
Dengan demikian, antara maqomat dan ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqomat, demikian Sayyid Hussein Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertalian satu sama lain yang apabila telah tertransendensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi seorang sufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk kategori anugrah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat semantara.
Kendatipun demikian, jika diamati secara cermat kategori maqomat dan ahwal bukanlah dua kategori yang ketat, karena adakalanya seorang penulis kitap tasawuf  memasukkan suatu konsep dalam kategori maqomat, sementara penulis yang lain memasukkan kedalam kategori ahwal. Di kalangan ulama tasawuf tidak kesepakatan mengenai hal ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan maqomat berbeda bagi sufi yang satu dengan sufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniah yang ditempuh oleh masing-masig sufi.    
D.   Hubungan antara Syari’ah dan Tasawuf
Menurut sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek laharayah, sedang tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek batinayah. Aspek lahir dan aspek batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan, sebaliknya aspek batin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan di atas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut :
Ibn ‘Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarb al-Hikam menyebutkan : Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hokum-hukum Allah yang zhohir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena amal yang diterima kecuali dengan tawajjuh (menghadap Allah)yang sebenar-benarnya, dan kedua (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali dengan iman.
Imam Malik menegaskan : Barang siapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sesungguhnya ia berlaku zindik, dan barang siapa yang berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan barang siapa yang mengamalkan keduanya, itulah yang menjadi hakikat.
Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan : Barang siapa manghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci kotoran batiniyahnya dengan air thoikqat, maka ia dapat mencapai haqiqat.
Pendapat-pendapat ulama di atas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali. Menurut al-Qusyairi : Setiap pengalaman syari’at yang tidak didukung dengan pengalaman hakikat, maka tidak dapat diterima, dan setiap pengalaman hakikat tidak didukung dengan pengalaman syari’at, maka tidak dapat mancapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengayakan : Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat)kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu, syari’ah).
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan : tidak bias menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Merperhatikan pendapat-pendapat di atas, terlihat secara jelas bahwa antara syari’at dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Di sini timbul pertanyaan : Mengapa para ulama memadukan antara syari’at dan tasawuf ? Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Ahmad Amin yang telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa Fuqaha sebagai ahli syari’at sangat mengutamakan amal-amal lahiriyahnya, sedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal batiniah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu batin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu mengandung semacam spesialisasi, sehingga syari’at lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu battin dikembangkan ilmu tasawuf  atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqih cenderung menggunakan rasio dan logika dalam membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut pandangan al-ghazali sejak abat ketiga hijriyah ilmu-ilmu agama islam : ilmu kalam (tauhad), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat adanya upaya spesialisasi yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lainnya menjadi berbeda objek, metode dan sasaran. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu kalam (ilmu tauhid), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqih, yang berkaitan dengan psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasawuf).
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka specialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik mezindik) di kalangan umat Islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir atau amal batin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir atau amal batin.  
E.   Penutup dan Kesimpulan
Berdasarkan uraian dimuka, dapat disimpulkan bahwa syari’ah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang hanya sampai pada batas ma’rifat, karena tasawuf ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
1.     Ajaran yang menekankan aspek akhlak baik dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya.
2.     Ajaran diselaraskan sepenuhnya dengan pertimbangan ilmu syari’ah.
3.     Ajaran tidak mengandung syathabat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut ulama syari’ah.
4.     Dalam tasawuf sunni masih telihat secara jelas perbedaan antara ‘abid dan Ma’bud, serta antara Kholiq dan makhluk.
Dalam pada itu terlihat bahwa syari’ah menolak ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan untuk mencapai kemanunggalan antara manusia dan Tuhan baik berupa ittihad, hulul, wahdat al-wujud maupun yang sejenisnya. Menurut pandangan syari’ah, kemanunngalan antara manusia dan Tuhan mustahil terjadi, karena Tuhan adalah Dzat yang wajib adanya, Maha Sempurna, dan bersifat qodim, sedangkan manusia (makhluk) adalah mungkin adanya, tidak sempurna, dan bersifat hadits. Oleh karena itu, mustahil terjadi kemanunggalan antara manusia dan Tuhan. Barangkali inilah yang menjadi landasan ulama syari’ah untuk menolak ajaran tasawuf tersebut.














F.    Daftar pusraka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar